Total Tayangan Halaman

Laman

Selasa, 31 Mei 2011

fikih sosial


Wacana Fikih Sosial


       I.       Pendahuluan
Apakah pelaksanaan syariat hanyalah merupakan bukti ketaan seorang hamba kepada Tuhannya tanpa ada keterkaitan dengan manusia sama sekali dalam kehidupan di dunia ini? Ataukah sebenarnya setiap gagasan syariat juga dimaksudkan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia bukan hanya di akhirat tetapi juga di dunia?
Terkait dengan pertanyaan tersebut umat Islam telah menampilkan berbagai jawaban yang beragam. Sebagian ada yang menjawab bahwa tata cara perilaku yang diatur oleh hukum agama sudah bersifat final.
Namun tentu saja jawaban tersebut bukan stu-satunya jawaban yang ada. Karena masih ada lagi jawaban cerdas yang mengatakan bahwa Islam adalah agama dengan sistem pergerakan yang dinamis. Artinya bahwa meskipun ayat-ayat al-Quran dan teks-teks hadits sangat terbatas, tetapi ayat-ayat dan hadits tersebut mengacu pada keterlaksanaan maqashid syariah, yang belum tentu tergambar dalam teks secara eksplisit. Tampaknya inilah yang menjadi inspirasi ide dan wacana fikih sosial.

    II.       Pembahasan
A.                Pengertian Fikih Sosial
Secara definitif fikih sosial terdiri dari dua kata yaitu fikih dan sosial. Secara etimologi pengertian fikih adalah al-fahmu. Sedangkan secara terminology fikih adalah
علم بالأحكام الشـرعـية العمـليـة المكتـسـب من ادلـتها التـفصـيـليـة
Fikih adalah ilmu hukum-hukum syara` yang bersifat praktis yang digali dari dalil-dalinya yang terperici[1]
Definisi sosial adalah suka memperhatikan kepentingan umum. Dari kedua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian fikih sosial adalah hukum-hukum syariat yang digali secara terperinci karena untuk kemaslahatan atau kepentingan umum.
Di dalam ilmu fikih terdapat tiga factor yang sangat yang sangat esensial.[2] Pertama ilmu fikih merupakan ilmu yang paling dinamis, karena ia menjadi petunjuk moral bagi dinamika sosial yang selalu berubah dan kompetitif. Kedua ilmu fikih sangat rasional, karena fikih merupakan ilmu ikhtisabi (ilmu hasil kajian, analisi dan penelitian). Ketiga fikih adalah ilmu yang menekankan pada aktualisasi atau biasa disebut dengan amaliyah yang bersifat praktissehari-hari.
Dengan demikian dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pada zaman yang serba modern ini umat islam dituntut untuk mengimplementasikan huku-hukum islam dengan realitas sosial, karena fikih sosial tidak hanya bersifat deskriftif atau kekinian tetapi juga bersifat prospektif yang berorientasi pada masa depan.
B.       Sekilas Wacana Fikih Sosial
Berbicara tentang wacana fikih sosial, tentu bukanlah hal yang baru, karena sebelumnya telah ada wacana serupa tetapi dalam bentuk istilah lain. Tengku Hasbi as Shidieqy sebelumnya pernah mengemukakan sebuah wacana fikih yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia, yaitu fikih Indonesia, Meskipun banyak terjadi pro dan kontra antara ulama Indonesia pada waktu itu.
Wacana Fikih Indonesia yang dimunculkan oleh Hasbi as Shidieqy dilatar belakangi oleh pemahaman umat Islam Indonesia terhadap hukum Islam masih sangat kearab-araban dan menafikan nilai-nilai lokal, sehingga perlu kiranya membangun kesadaran untuk menggagas pemahaman fikih baru yang dapat mengakomodasi kepentingan sosial muslim Indonesia.[3] Pada dekade awal tahun 1950-an, Hazairin menawarkan konsep ”Mazhab Nasional”, yang mereferensi ke mazhab Syafi’i, tetapi mazhab nasional membatasi ruang lingkupnya pada hukum-hukum non-ibadah yang belum dijadikan undang-undang oleh negara. Selanjutnya pada tahun 1987 Munawir menawarkan gagasannya untuk mengkaji ulang terhadap interpretasi hukum Islam dengan menekankan pada perubahan ’urf, maslahat, dan mafsadat yang populer sebagai ”Reaktualisasi hukum Islam” walau Munawir menyebutnya ”Dinamika Hukum Islam”. Di tahun yang sama, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menawarkan gagasan ”Pribumisasi Islam” dan Masdar F. Mas’udi menawarkan konsep ”Zakat sebagai Pajak”. Jauh sebelum teori-teori keindonesiaan hukum Islam ini muncul, pada tahun 1940, Hasbi telah mengemukakan gagasan tentang perlunya pembentukan ”Fiqh Indonesia”, yang pada tahun 1961 ia definisikan sebagai ”fiqh yang ditentukan berdasarkan kepribadian dan karakter bangsa Indonesia”.
Untuk mendukung pendapatnya, Hasbi berpegang pada sejarah perkembangan fikih (tarikh tasyri’). menurut Hasbi, fiqh lokal telah muncul sejak awal penyebaran Islam melewati batas-batas Mekah dan Madinah. Mazhab Hanafi di Kufah, Maliki di Madinah, Syafi’i di Baghdad (qaul qadim) dan kemudian di Mesir (qaul jadid), di samping mazhab Hambali di Baghdad, tentunya merupakan bagian dari contoh yang populer. Lokalitas mazhab-mazhab ini, dikarenakan perbedaan pendapat, tempat, adat istiadat dan jiwa si mujtahid sendiri.[4]
Pada tahun 1994. K.H. Ali Yafie mengungkapkan pemikirannya tentang “Menggagas Fikih Sosial” yang bertujuan memahami Al-Quran secara utuh dengan cara mendorong penafsiran secara tematis yang mengajukan tema-tema tertentu sehingga penelusuran terhadap Al-quran akan secara menyeluruh. Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa kondisi dan tantangan perkembangan zaman serta persoalan umat Islam kurun ini mengharuskan demikian.[5]
            Sedangkan gagasan fikih sosial lainnya, muncul dari K.H. Sahal Mahfudh yang dilatar belakangi oleh kondisi masyarakat di sekitar desanya (Kajen) yang hidup serba kekurangan. Ide ini bukan tanpa menghadapi rintangan, pada awalnya banyak ditentang oleh pelbagai kalangan kiyai dan masyarakat setempat (Kajen), serta ulama Jawa Timur. Menghadapi banyaknya tentangan tersebut, Kiyai Sahal menanggapinya dengan tindakan praktis dan aplikatif dengan team worknya, ketika sudah menampakkan hasilnya, perlahan ide Kiyai Sahal mulai diterima oleh masyarakat yang semula menentangnya yang kemudian justeru berbalik mengaguminya karena ada seorang kiyai yang sangat peduli dan terjun langsung ke lapangan.[6]

C.  Objek Kajian
Berbicara tentang objek kajian fikih sosial kita akan menemukan kesulitan dalam menentukan objek kajiannya. Hal ini dikarenakan fikih sosial belum menjadi sebuah ilmu dan masih merupakan wacana baru dalam bidang fikih dan tidak disanksikan bahwa suatu saat wacana ini akan menjadi sebuah ilmu. Walaupun demikian ini tidak membuat penulis menyerah begitu saja. Penulis berusaha menemukan objek kajian fikih sosial ini dengan melacak gagasan-gagasan orang yang    mengemukakan wacana fikih sosial ini. Dari ide yang mereka telorkan penulis dapat mengasumsikan objek kajian atas apa yang mereka fikirkan dalam wacana fikih sosial ini.  
Sebagaimana yang kita ketahui, fikih meliputi pembahasan seputar Syariah yang berhubungan dengan ibadah mahdoh dan ibadah ghoir mahdoh.  Adapun fikih sosial lebih menitik beratkan dalam pemecahan dan pemenuhan tiga jenis kebutuhan manusia sebagaimana yang lazim kita ketahui, dharuriyah, hajjiyah,dan  tahsiniyah.
Dalam wacana fikih sosial, fikih dijadikan sebagai paradigma pemaknaan secara sosial dan tidak  melihat setiap persoalan secara hitam putih. Sehingga dari sedikit uraian diatas kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa objek kajian fikih sosial berkisar pada fikih ghoir mahdoh ( fikih mu’ammalah, zakat, jinayah, wanita , dakwah dan munakahat).[7]

D.  Hubungan Fikih Sosial dengan Maqashid as-Syariah
Syariat Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia kepada Allah yang direpresentasikan dalam bentuk ibadah (ibadah mahdloh), tetapi juga mengatur beberapa hubungan diantara sesama manusia (ibadah ghoir mahdloh), seperti  dalam bentuk mu’asyaroh (pergaulan), mu’ammalah (hubungan transaksi untuk memenuhi kebutuhan hidup), hubungan dan tata cara keluarga dalam bentuk munakahat.
Pemaparan di atas adalah komponen dalam ilmu fikih, sebagai teknisnya dalam mengoperasionalkan maqashid asy-syariah, yaitu memelihara lima tujuan syari’at, agama, akal, jiwa, nasab, dan harta benda.
Sementara fikih sosial, adalah perkembangan paragdimatik yang berpandangan bahwa mengatasi sosial yang kompleks dipandang sebagi perhatian utama syari’at Islam. mengatasi problem sosial berarti adalah upaya untuk memenuhi tanggung jawab kaum muslimin yang konsekuen atas kewajiban mewujudkan kesejahteraan atau kemeslahatan umum.[8]
 III.            Penutup
Mengkaji ilmu fikih tentu tidak akan ada habisnya, karena ilmu fikih adalah ilmu dari hasil sebuah pemikiran melalui ijtihad dan ilmu ini mempunyai ciri tersendiri, yaitu bersifat elastis dan dinamis. Selama manusia masih mau menggunakan pikirannya dalam menggali hukum-hukum syariat yang berdasarkan al-Quran dan hadis melalui beberapa metode, maka dari situ pulalah akan menghasilkan suatu kesimpulan yang selanjutnya disebut ilmu fikih.
Seorang penggali hukum dalam mengambil sebuah keputusan, sepatutnya tidak lepas dari melihat dan memperhatikan kondisi (ruang dan waktu) ketika ia berada. Karena karakter suatu hukum yang dihasilkan sangat bergantung pada situasi dimana hukum tersebut ditetapkan. Terkait dengan masalah sosial yang menitik beratkan pada urusan ekonomi sebuah hukum islam harus mencari terobosan untuk kepentingan umum yang hukum tersebut tidak melampaui pada hukum-hukum syariat






Daftar rujukan
Asmuni, . Jamal Ma’mur 2007. Fikih Sosial Kiai Sahal Mahfudh Antara Konsep Dan Implementasi. Surabaya: Khalista, hlm 44.
Kusdar. 2007. Dinamika Fikih Indonesia (Telaah Historis Lahirnya Fikih Keindonesiaan). Pdf
Mahfudz, Sahal. 2004. Nuansa Fiqih Sosial. Yogyakarta. LKis.
 Rahmani, Jamal D. et al. 1997. Wacana Baru Fikih Sosial 70 Tahun K.H. Ali Yafie. Bandung: Mizan, 80.


[1]    Jamal Ma`mur Asmani. 2007. Fikih Sosial. Surabaya. Khalista. Hlm 55
[2]  Jamal Ma`mur Asmani. 2007. Fikih Sosial. Surabaya. Khalista. Hlm 55
[3] .Kusdar. 2007. Dinamika Fikih Indonesia (Telaah Historis Lahirnya Fikih Keindonesiaan). pdf
[4] . ibid.
[5] . Jamal D. Rahmani. et al. 1997. Wacana Baru Fikih Sosial 70 Tahun K.H. Ali Yafie. Bandung: Mizan, 80.
[6] . Jamal Ma’mur Asmuni. 2007. Fikih Sosial Kiai Sahal Mahfudh Antara Konsep Dan Implementasi. Surabaya: Khalista, hlm 44.
[8]    Sahal Mahfudz. 2004. Nuansa fikih Sosial. Yogyakarta. LKis. Hlm XXXii