Total Tayangan Halaman

Laman

Selasa, 05 April 2011

Resensi Buku

Resensi buku : oleh Kasdi Ardiansah

Judul              : Reposisi Islam di Era Globalisasi
Judul asli        : Al-Islam fi ‘Ashr al-Aulamah
Penulis           : Mahmud Hamdi Zaqzuq
Penerjemah    : Abdullah Hakam Shah
Penerbit          : PT LkiS Pelangi Aksara yokyakarta
Cetakan 1       : September 2004

       Buku yang dikarang oleh Mahmud Hamdi Zaqzuq ini mencoba memberikan ide-ide dalam menghadapi`persoalan-persoalan pada zaman sekarang mengenai kemajuan teknologi, informasi, kloning, internet yang tentunya akan mempunyai pengaruh yang positip dan negatip dan bagaimana peran Islam terhadapnya, atau bahkan mungkin Islam dianggap tidak mempunyai hubungan dengan kemajuan yang telah dicapai oleh manusia modern sekarang.
       Dalam buku ini mencakup beberapa bahasan yang terdiri dari empat bab. Bab yang pertama membahas sikap dan posisi Islam di Era Globalisasi terhadap perubahan zaman dan beberapa hal yang menyangkut kekhawatiran dunia Islam. Bab kedua membahas hubungan lslam dengan dunia barat, kajian seputar  relasi dunia timur dan barat serta masa depan Islam di barat. Dan juga  di bab ini dibahas pengaruh khazanah keilmuan Islam klasik di Eropa. Bab yang ketiga membahas tentang posisi Islam terhadap persolan kontemporer seperti dialog antar agama, dialog antar peradapan dan kloning. Di bab yang keempat penulis memaparkan  tentang masa depan Islam di abad XX1 serta persoalan –persoalan kemanusiaan.
       Tujuan dari penulis mengenai isi buku ini adalah menberikan jawaban banyaknya pertanyaan tentang apa yang bisa diberikan Islam bagi kaum muslimin secara khusus, dan bagi umat manusia secara umum. Karena ada sebagian yang beranggapan bahwa agama telah kehilangan relevansinya dengan tatanan kehidupan modern dan masa depan umat manusia. Di buku ini, penulis juga memberikan solusi cara Islami dalam menghadapi kehidupan yang tak menentu dizaman modern sekarang ini.
       Dibagian bab pertama,  awalnya penulis mengklasifikasikan umat Islam menjadi dua dalam hal merespon pemikiran dan aliran baru yang datang dari timur maupun dari barat yang merambah dunia Islam, baik dari segi politik, ekonomi dan lain-lain. Mereka cenderung bersikap resisten terhadap pemikiran baru yang dianggpap akan membawa dampak yang negatip terhadap nilai-nilai luhur agama Islam. Bahkan mereka sampai beranggapan bahwa semua itu merupakan ancaman atau sebuah konspirasi untuk menghancurkan Islam dan menghilangkan identitas kaum muslimin
       Golongan yang kedua, menurut penulis adalah sebagian umat Islam yang terlalu berlebihan dalam menerima apapun yang datang dari timur mauun barat tanpa adanya proses penyaringan. Mereka terlalu mengidolakan apa-apa yang datang dari timur maupun barat dengan mengatas namakan kemajuan dan mengecam orang-orang yang menolaknya serta menuduh mereka sebagai kelompok yang konseravatif, kolot, bodoh dan terbelakang. Menurut mereka apapun yang datang dari negara maju adalah faktor yang mempengaruhi suatu kemajuan dan perkembangan ditempat mereka.
       Kedua kelompok ini-yang menolak pengaruh dari luar secara mutlak dan yang menerima dari luar secara mutlak- kemudian menimbulkan perdebatan dan perselisihan diantara mereka yang cukup panjang serta banyak menyita waktu dan tenaga.
        Dalam hal ini, kemudian penulis memberikan catatan penting yang harus digaris bawahi dengan tegas. Pertama, bahwa Islam sebagai agama-bukan sebatas aliran pemikiran atau fenomena temporer belaka- seharusnya tidak perlu mencemaskan hal-hal yang baru dari luar Islam, karena Islam memiliki basis sejarah yang kokoh dan landasan yang kuat yang tidak dimiliki oleh aliran-aliran yang baru bermunculan. Dengan demikan umat Islam tidak perlu merasa khawatir selama umat Islam sendiri mampu memahami agama mereka dengan baik dan benar, serta menghayati tujuan, target, maupun mutiara yang terkandung dalam ajaran Islam.
       Yang kedua, harus disadari bahwa globalisi adalah kenyataan yang tak mungkin ditolak.  Pada awalnya ia merambah lewat ekonomi, kemudian melebar lewat jalur politik, selanjutnya ia masuk lewat budaya, sehingga ia benar-benar menjelma menjadi sebuah fenomena yang tidak dapat dihindari yang muncul dihadapan kita.
       Ketiga, kita harus sadar bahwa kita hidup ditengah-tengah komunitas dunia lainnya yang berada di era komunikasi dan informasi, revolusi teknologi, serta era keterbukaan yang sangat sulit untuk kita hindari dan menjahuh darinnya.
       Kemudian  penulis menyebutkan, jika benar globalisai bertujuan menghilangkan sekat-sekat waktu, tempat, budaya, sistem perekonomian dan politik antar bangsa, yang pada akhirnya, dengan berbagai cara menegakkan pula nilai-nilai dan peradapan tertentu, yakni perdaban barat atau peradaban adikuasa, maka hal itu tidak boleh membuat kita kecut dan kehilangan keseimbangan. Karena, yang demikian tidak akan pernah bisa memberikan jalan keluar, bahkan menggiring kta untuk tidak dapat berpikir jernih. Inilah realitas yang ada dihadapan kita. Maka kewajiban kita adalah bagaimana berinteraksi dengannya secara positif, karena tidak selamanya globalisasi membawa hal yang buruk walaupun tidak semuanya baik. Maka dalam hal ini kita dituntut bersikap kritis dan proporsional.
       Selanjutnya penulis memberikan masukan, bahwa globalisasi bagi umat Islam adalah merupakan seruan yang tak langsung agar umat Islam segera melakukan introspeksi diri dan menata kembali “bangunan rumah” dari dalam, sekalipun  para penyiar globalisasi tidak meniatkan hal itu. Dan globalisasi menurut penulis adalah tantangan yang bersifat positif jika umat Islam mampu berintraksi dengannya secara konstruktif dan rasional jauh dari sentimen emosi.
      Kemudian penulis menyebutkan beberapa relasi antara Islam dan globalisasi, diantarnya adalah dibidang ekonomi, politik, budaya serta posisi Islam dalam menyikapi semua itu.
      Dibagian lain penulis mengomentari permasalahan seputar HAM. Menurut penulis jika diteliti secara mendalam, Islam sangat memperhatikan  dan menjaga hak-hak asasi manusia, baik pada tataran ide maupun praktis. Allah telah memuliakan manusia secara mutlak, dan menyamakan posisi mereka tanpa memandang derajat, jender, warna kulit maupun kepercayaan. Allah juga memerintahkan untuk menegakkan nilai-nilai keadilan dalam berinteraksi antar sesama.
       Begitu juga dalam hal mengomentari permasalahan seputar pluralisme politik. Bahwa penulis memberikan kesimpulan, pluralisme politik bukanlah hal yang dilarang dalam agama, justru ia adalah medium ijtihad untuk mencapai solusi terbaik bagi pengembangan semua aspek kehidupan.
      Kemudian penulis memberikan harapan kepada generasi umat Islam untuk bisak keluar dari krisis yang mencekik, dan bisa membuahkan hasil yang sukses dihari esok yang lebih cerah, dimana seluruh umat dapat menikmati kemajuan dengan rasa aman, sehingga mereka mampu berperan aktif dalam mewujudkan perdamian dunia.
      mengutip dari artikelnya ar-Rahkhawi, seputar Globalisai dan Pluralitas kehidupan, yang mengisyaratkan bahwa ia ingin lebih jauh dari pemaparannya dalam tulisan Islam di Era Globalisai. Pembicaraan tentang globalisasi lebih cenderung ke menekankan pada sarana, bukan pada tujuan yang semestinya dicapai. Dan juga Rakhawi menekankan pentingnya menemukan dan menelaah eksestensi (wujud) manusia bahwa keberadaan Tuhan adalah suatu keharusan objektip, demi menjadikan manusia sebagai manusia. Karena itu, kehidupan menjadi berbeda sama sekali seandainya wujud Allah bergantung pada realitas yang sebelumnya tidak ada.
      Hal demikian menurut penulis, yang masih mencerminkan sebagian kita masih terlalu memperhatikan sarana dan kuantitas keberhasilan, tanpa melihat pada inti permasalahan yang tersarikan dalam sebuah kesadaran tentang wujud Allah, sehingga mampu menjadikan kualitas hidup kita menjadi tinggi olehnya.
      Islam meskipun ditengah-tengah globalisasi, sudah jelas berporos pada satu prinsipil, yaitu, wujud Allah, keesaan-Nya, dan kesadaran yang utuh akan realitas tersebut. Sebuah realitas yang akan membentuk hidup manusian secara holistik, dari awal sampai akhir.
      Menurut penulis, tidak usah mengkhawatirkan arus pemikiran dari luar, selama kaum muslim memahami agamannya dengan benar, mengerti tujuan-tujuan mulia, cita-cita luhur dan esensi yang terkandung didalamnnya. Dan esensi Islam adalah memahami hakikat wujud-Nya Allah.
       Penulis juga menyebutkan perbedaan antara globalisasi Islam dengan globalisasi baru, bahwa globalisai lebih cenderung  lapangan manusia bahkan ia berkuasa atas nama dirinya, dimana ahklak, nilai-nilai dan akidah menjadi taruhannya. Dan pada akhirnya menimbulkan kekosongan dan kehampaan bathin.
      Oleh karena itu, menurut penulis, agama dan kemanusiaan harus ikut berperan aktif di dalam mengontrol globalisasi demi menjaga dan meluruskan bagian-bagian yang menggerogoti esensi kemanusiaan dan mengarahkan globlisasi demi kemaslahatan umat manusia.
      Kemudian penulis menyebutkan, bahwa esensi manusia bukan tercermin dari kehidupan materi yang bisa menyetarakannya dengan hewan.esensi manusia tercermin dari sikap kerohaniannya, dimana dia bisa menjadi manusia yang sesungguhnya di hadapan Allah SWT. Yang mana sudah terbentuk ketika Allah meniupkan ruh pada saat penciptaanya, yaitu berupa fitrah keimanan akan keberadaan dan keesan-Nya, dan sering disebutkan dalam al-Quran.
      Selanjutnya penulis mempertegas tentang ketinggalan umat Islam diberbagai bidang. Padahal Islam tidak merelakan adanya keterbelakangan pada umatnya, bahkan Islam menekankan bahwa manusia menanggung amanat utama untuk membangun alam ini seluas-luasnya. Sebagaimana firman Allah SWT: Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemamurnya. (QS. Hud [11]: 61).  
        Menurut penulis, umat Islam telah banyak menyia-nyiakan tanggung jawab peradaban di abad-abad terakhir ini, setelah sebelumnya umat Islam pernah berjaya dan berkuasa di atas dunia, karena pada waktu itu umat Islam masih memegang prinsip ke-Islamannya. Bahkan menurut penulis kemunduran Islam sudah mencapai suatu tingkat seperti tersesatnya anak yatim di tengah rimbunnya hutan belantara. Bahkan lebih jauh menggambarkan umat Islam sekarang seperti orang yang sakit dan berputus asa serta kehilangan semangat untuk mencari obat penyembuhnya.
      Pada sisi lain penulis memberikan peringatan bagi umat Islam, perkara ini sungguh sangat berbahaya dan sewaktu-waktu bisa menyerang umat sampai keakar-akarnya. Yakni, akar iman yang selama ini kita resapi dalam jiwa, dan kita pahami pemahamnya dengan akal. Namu disisi lain menurut penulis yang mengutip dari hadis Rasuluulah SAW.” Bukanlah apa yang sekedar kita angan-angankan dan kita dengung-dengungkan. Iman yang dimaksud adalah yang terpatri dalam hati yang terbukti dalam sikap dan perbuatan sebagian kaum telah terlena dengan dengung-dengungan iman, lalu mereka mengaku telah mengenal Tuhan, mereka berbohong. Seandainya mereka mengenal Tuhan, pasti mereka beramal baik”.
      Menurut penulis,  antara tujuan dan sarana terdapat relasi yang sangat kuat. Tujuan merupakan pondasi bangunan, sementara sarana itu adalah bangunannya. Pondasi tanpa bangunan tidak ada artinya. Demikian pula tidak akan dapat berdiri tanpa ada pondasi.
     Dari pemaparan di atas, penulis kemudian mengambil benang merah bahwa umat Islam harus saling membangunkan dan saling mengarahkan agar Islam dapat bangkit dan berpartisipasi aktif membangun masa depan dunia.
       Pada bagian bab yang kedua, penulis membicarakan seputar timur dan barat. Timur adalah timur dan barat adalah barat yang mengutip dari artikelnya sastrawan terkenal, Kipling (1865-1939). Penulis kemudian menjelaskan bahwa Kipling adalah pendukung fanatik ide-ide penjajahan, namun penjajahan baru muncul lewat kemasan globalisasi  yang dibawa oleh Samuel Hutington.
       Dalam bab ini penulis membagi kemajuan peradaban, peradaban timur, yang diwakili Islam, dan peradaban barat yang diwakili Kristen. Dan hal ini menurut penulis, relasi antara barat dan timur dalam persefektip agama adalah relasi anak dan induk. Jika ditelusuri, akar agama Kristen dalam diri barat dan timur, maka nyaris tidak dapat ditemukan suatu keterputusan. Sementara di sisi lain menurut penulis, ketika muncul di abad XV11 M, Islam tidak mengambil sikap permusuhan dengan agama-agama samawi lainnya. Bahkan Islam mengakui bahwa agama tersebut adalah bersumber dari Tuhan. Islam hanya memposisikan dirinya sebagai agama yang terakhir dari panjang rangkaian agama-agama Tuhan.
       Dalam konteks lainnya, pemikiran dan peradaban, penulis memaparkan bahwa kaum muslimin telah bersikap inklusip di hadapan kebudayan barat. Kemudian penulis mengambil contoh yang terjadi pada khalifah al-Ma’mun. yang telah berkembang pemikiran-pemikiran dan keilmuan, hal dibuktikan dengan dorongan sang khalifah untuk menterjemahkan filsafat dan khazanah ilmu pengetahun Yunani ke dalam bahasa Arab. Dan selanjutnya mempelajari dan mengembangkannya, mengambil hal-hal yang positif yang terkandung di dalamnya. Kemudian melahirkan seorang tokoh keilmuan seperti Ibnu Rusyd, kemudian orang-orang Eropa menjulukinya sebagai “eksplanantor” (as-syarih) yang berhasil menterjemahkan khazanah filsafat Yunani, khususnya filsafat Aristoteles.
      Lebih dari itu menurut penulis, peradapan Islam telah berkembang pesat di benua Eropa, Andalusia, selama delapan abad yang kemudian mewariskan peradaban-peradabannya sebagai cikal bakal berdirinya perdaban barat. Demikianlah, bahwa timur dan barat sudah mempunyai keterkaitan yang mengkristal secara langsung, tanpa adanya proses rekayasa.
      Selanjutnya pada bagian bab yang ketiga, penulis memaparkan tentang Tantangan Globalisasi. Bagian pertama bab ini, penulis membahas tentang pentingnya dialog, alasannya karena dialog dalam wacana kontemporer telah menjadi isu sentral di segala lapisan penduduk dunia yang sedang carut marut dengan segala kepentingannya masing-masing. Maka dialog adalah solusi yang tidak bisa ditawar lagi. Dialog tersebut menurut penulis, merambah kesegala bidang, seperti politik, ekonomi, sosial,keagamaan dan lain sebagainya.
     Hal yang sangat penting menurut penulis, bagaimana dialog tersebut bisa terlaksana dengan kondusip, maka dialog harus steril dari keterpihakan dengan salah satu peserta dialog, termasuk memonopoli kepentingan dari salah satu kelompok tertentu.
      Ada bab yang cukup menarik dalam bab ini, yaitu masalah seputar cloning, karena menurut penulis, persoalan ini bukan hanya persoalan para ilmuan saja, tapi ini juga persoalan kemanusiaan secara umum, karena ini akan dipandang dari segi sikap yang berbeda-beda dari berbagai aspek, seperti agama, moral, hukum, sosial, psikologi dan sebagainya.
      Sebenarnya, menurut penulis, Islam sangat berhati-hati dalam menjaga keharmonisan dan pembinaan keluarga dengan baik. Islam merekomendasikan  semua usaha demi terjalinnya keharmonisan hubungan perkawinan dengan baik, sebagai bukti cinta kasih diantara mereka. Hal ini kemudian penulis menjelaskan, bahwa komitmen Islam seputar upaya perbaikan keturunan dengan cara memilih pasangan hidup dengan benar, disamping mempergunakan sarana dan perantara yang memadai untuk bisa sampai ketujuan. Dalam hal ini Islam tidak menganjurkan perkawinan denga saudara dekat, lantaran pengaruh negatif yang bisa timbul terhadap keturunan.
      Dalam bagian akhir bab ini, penulis mengambil sebuah kesimpulan, cloning terhadap hewan, tumbuhan dan sebagian anggota tubuh manusia tidak ada larangan dalam Islam. Namun, cloning total terhadap manusia seutuhnya jelas tidak akan memberi maslahat yang baik secara hakiki maupun syar’i, tetapi sebaliknya akan menimbulkan hal-hal yang tidak baik yang akan merusak sisi-sisi agama, moral, psiskis, sosial dan hukum.
      Pada bagian bab yang terakhir, penulis memaparkan tentang Memformat Masa Depan. Menurut penulis membicarakan Islam di abad XX1, terlebih dahulu harus mengetahui pandangan agama Islam tentang manusia dan perannya dalam kehidupan. Karena hal itu adalah pengantar utama dalam membicarakan Islam di abad XX1, atau abad-abad lain yang akan dating. Dan hal ini tentu akan membahas dan menelaah ayat-ayat al-Quran yang dengan tegas menjelaskan bahwa manusia merupakan pemeran penting dan utama dalam pembumian wahyu ilahi. Karena itu menurut penulis, bahwa Islam pada intinya merupakan agama kehidupan dalam berbagai aspeknya.
       Dalam hal ini, penulis menyebutkan, bahwa Islam sudah menjelaskan dengan gamblang, bahwa Allah telah menciptakan manusia dari buah Tin atau dari materi. Pada saat yang sama, Allah menambahkan unsur lainnya, yaitu ruh yang bersumber dari Allah SWT. Selanjutnya Allah menganugerahkan ilmu pengetahuan yang mereka butuhkan. Maka manusia mempunyai peluang untuk membuka ruang selebar-lebarnya dan melakukan penelitian dan studi untuk menyingkap ayat-ayat Allah dalam segala sesuatu.
      Berbicara Islam di abad XX1, pertanyaan yang timbul menurut penulis adalah, apakah dasar-dasar yang dibawah al-Quran sejak empat belas abad yang lalu masih compatible dengan zaman sekarang?. Jawaban atas pertanyaan tersebut menurut penulis sangatlah mudah. Yakni, jika dasar-dasar itu berhasil diimplemetasikan dan di bumikan dalan tataran realitas maka tak pelak maka ia akan bisa mengikuti setiap perkembangannya.
      Di dalam bab ini, penulis memaparkan tentang demokrasi, hak asai manusia dan pluralisme. Dalam hal demokrasi, penulis menjelaskan bahwa demokrasi zaman modern sekarang tak lebih sekedar etos syuro dalam Islam yang telah dipraktekan dalam bebagai bentuk sesuai dengan kebuthan umat manusia. Sementara hak asai manusia telah diserukan Islam sejak empat belas abad silam, yang telah benar-benar mampu member jaminan hak-hak dasar manusia. Sedangkan tentang pluralisme politik, Islam telah lama mengakui adanya perbedaan antar manusia. Setiap orang mempunyai pemikiran dan kepribadian yang unik.
      Di pembahasan bab yang terakhir, penulis menjelaskan, bahwasannya kita hidup sedang menghadapi generasi dan tatanan baru yang tak ada hubungannya dengan dosa atau kejahatan masa lalu. Sebagaimana mereka pun juga tak pernah berpartisipasi dalam perbuatan-perbuatan positif pada generasi yang telah lalu. Dan satu-satunya harapan pada genersi baru sekarang ialah memberi mereka kesempatan yang layak untuk mereka menata kehidupan dan membangun perdamaian dunia.



       

       
        
         
      

PENGORGANISASIAN (ORGANIZING) DAKWAH

PENGORGANISASIAN (ORGANIZING) DAKWAH

A.    PENDAHULUAN
Islam dalam penyebarannya banyak melalui dakwah dan melalui dakwalah Islam menyebar sampai kepunjuru dunia. Keberhasilan dalam melaksanakan dakwah tidak lepas dari subjek dakwah itu sendiri dalam menyusun sebuah strategi. Selama ini dakwah dilakukan hanya sebatas menyampaikan materi saja, soal diterima atau tidaknya adalah urusan belakang. Sebenarnya dakwah akan mendekati sebuah keberhasilan apabila mempunayi strategi yang matang, namun strategi yang matang hanya apabila kita menyusunnya melalui sebuah system yang yang terstruktural, dan dalam hal ini sebuah system yang terstruktural adanya disebuah badan organisasi. Kemudian organisasi inilah yang akan menyusun sebuah strategi dalam menjalankan misi dakwahnya. Dalam makalah ini kami akan membahas sebuah sistem untuk menyusun sebuah strategi yaitu pengorganisasian dakwah.
B.     PEMBAHASAN
1.      pengertian
Sebelum mengarah pada ranah pengoranisasian dakwah, terlebih dahulu pemakalah mencoba untuk mengklasifikasikan apa pengorganisasian itu? Dan apa dakwah itu sendiri?.
Pengorganisasian mempunyai akar kata organisasi (organization). Dalam kamus KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) organisasi ialah kesatuan (susunan) yang terdiri atas bagian-bagian (orang) dalam perkumpulan untuk tujuan tertentu; atau kelompok kerja sama antara orang-orang yang diadakan untuk mencapai tujuan bersama.[1] sedangkan pengorganisasian sendiri ialah proses, cara, atau perbuatan mengorganisasi. Itu secara etimologi, sedangkan secara terminologi ialah rangkaian aktivitas menyusun suatu kerangka yang menjadi wadah bagi segenap kegiatan usaha dengan jalan membagi dan mengelompokkan pekerjaan yang harus dilaksanakan serta menetapkan dan menyusun jalinan hubungan kerja diantara satuan-satuan organisai atau petugasnya.[2]
Dakwah sendiri, telah kita ketahui bersama pada pembahsasan makalah yang lalu. Menurut Amrullah Ahmad dalam buku dakwah Islam dan perubahan sosial. Dakwah merupakan aktualisasi imani (teologis) yang dimanfestasikan dalam suatu sistem kegiatan manusia beriman dalam bidang kemasyarakatan yang dilaksanakan secara teratur untuk mempengaruhi cara merasa, berpikir, bersikap, dan bertindak manusia pada dataran kenyataan individual dan sosio-kultural dalam rangka mengusahakan terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi kehidupan dengan menggunakan cara tertentu.[3]
Setelah dirumuskan apa itu pengorganisasian dakwah. Langkah selanjutnya ialah penyusunan pengorganisasian dakwah:
1.1.Penentuan
Penentuan tujuan, sebagai dasar utama untuk penyusunan organisasi, tujuan harus dirumuskan secara jelas dan lengkap, baik mengenai bidang, ruang lingkup sasaran, keahlian dan/atau keterampilan serta peralatan yang diperlukan.
Perumusan tugas pokok, tugas pokok adalah sasaran yang dibebankan kepada organisasi untuk dicapai. Pada umumnya, bertambah besar organisasi yang harus disusun bertambah umum pula tugas pokok yang dapat dirumuskan. Sebaliknya, makin kecil organisasi, makin kecil dan terbatas tugas pokoknya.[4]
1.2. Pembagian
Pembagian tugas merupakan suatu hal yang memudahkan pencapaian sasaran. Begitu juga harus jelas. Sebab bilamana tidak, mudah menimbulkan suatu kekalutan dalam pelaksanaannya.
Oleh sebab itu, berdasarkan prinsip di atas, pembagian tugas harus dirumuskan sebagai berikut:
a.       Bagian penyiaran Islam
Penyiaran Islam mempunyai fungsi untuk meningkatakan pemahaman kesadaran ummat Islam terhadap ajaran Islam.
b.      Bagian pendidikan
Pendidikan menanamkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan bagi anak-anak, remaja, dan anggota keluarga lainnya. Serta menyelenggarakan usaha-usaha di bidang pendidikan.
c.       Bagian pembinaan kesejahteraan masyarakat
Bagian ini berfungsi untuk membina dan memelihara kesehatan jasmani dan rohani masyarakat serta menghidup suburkan dan menggembirakan hidup tolong menolong, saling cinta mencintai, dan kebiasaan itsar dan solider.[5]
d.      Bagian pembinaan ekonomi
Pembinaan ekonomi berfungsi meningkatakan kemampuan masyarakat dalam usaha perekonomiannya, sehingga masing-masing anggota masyarakat dapat mencuk upi kebutuhan hidupnya tanpa harus menggantungkan dirinya pada orang lain.
e.       Bagian pembinaan Ilmu pengetahuan dan kebudayaan
Bagian ini mempunyai fungsi menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan utuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat serta menghidupkan dan membina kebudayaan yang sesuai dengan ajaran Islam, di samping membendung pengaruh-pengaruh kebudayaan asing yang merusak keyakinan dan akhlaq.
f.       Bagian penerbitan dan pustaka
Penerbitan dan pustaka berfungsi menyelenggarakan penerbitan bahan-bahan, buku-buku, majalah, brosur, dan lain-lain, tentang ajaran Islam dan ilmu pengetahuan serta menyebarkan ke tengah-tengah masyarakat.[6]
g.      Biro penelitian
Biro penelitian berfungsi memperhatikan kehidupan dan perkembagan masyarakat, khususnya yang secara langsung ataupun tidak langsuang berpengaruh kepada kehidupan uammat Islam.
h.      Biro tata usaha
Biro ini mempunyai fungsi menyelenggarakan dan mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan ketata-usahaan dari proses penyelenggaraan dakwah.
i.        Biro logistik
Biro logistik berfungsi mengusahakan dan menyediakan biaya dan fasilitas yang diperlukan oleh penyelenggaraan dakwah, mengatur penggunaanya seefektif mungkin dan mengurusnya dengan setertib-tertibnya.[7]
j.        Biro kader
Biro kader ini berfungsi merencanakan dan menyelenggarakan kegiatan kaderisasi dakwah, yang meliputi kegiatan-kegiatan; menyiapkan, membina, dan memanfaatkan tenaga (da’i) dalam rangka proses dakwah yang sesuai dengan fungsinya.[8]
1.3. Penetapan
Penetapan disini berkaitan erat dengan jalinan hubungan (komunikasi). Komunikasi yang terjalin antara pimpinan dakwah, bagian-bagian, dan seksi-seksi. Karena komunikasi merupakan cara yang akurat dan efektif dalam menyampaikan gagasan, fakta, pikiran, perasaan, dan nilai kepada orang lain. Begitu juga, komunikasi adalah suatu jembatan arti (mempunyai makna) di antara orang-orang sehingga mereka dapat berbagi hal-hal yang mereka rasakan dan ketahui.[9]
Kenapa harus komunikasi?. Karena organisasi tidak mungkin berada tanpa komunikasi.[10] Apabila tidak ada komunikasi, niscaya pemimpin dakwah tidak akan mengetahui apa yang dilakukan seksi-seksinya, dan begitu juga seksi-seksi yang lain tidak akan mengetahuai apa yang dilakukan rekan kerjanya. Apabila komunikasi efektif, ia dapat mendorong timbulnya prestasi lebih baik dan suatu kepuasan.[11]
C.    PENUTUP
Simpulan
Sebagai aktualisasi dari keimanan yang berperan dalam memberikan pengaruh, dakwah akan sangat mudah terinteregrasi apabila strateginya terstruktural lewat sebuah badan organisasi. Setelah membaca keterangan diatas, pengorganisai dakwah adalah hal yang sangat urgen dalam mencapai target yang ingin dicapai.

Daftar Pustaka

A. Rosyad Shaleh. 1977. Management Da’wah Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Amrullah achmad (editor). 1983. Dakwah Islam dan Peruabahn Sosial. Yogyakarata: Prima Duta 
Sondang P. Siagian. 1996. PERANAN STAF DALAM MANAJEMEN. Jakarta: PT. Toko Gunung Agug
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ebsoft.web.id
Keith Davis dan John W. Newstrom. 1985. Perilaku dalam Organisasi. Jakarta: Gelora Akasara Pratama


[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ebsoft.web.id
[2] A. Rosyad Shaleh. 1977. Management Da’wah Islam. Jakarta: Bulan Bintang. hlm 88.
[3] Amrullah achmad (editor). 1983. Dakwah Islam dan Peruabahn Sosial. Yogyakarata: Prima Duta. hlm 2. 
[4] Sondang P. Siagian. 1996. PERANAN STAF DALAM MANAJEMEN. Jakarta: PT. Toko Gunung Agug. hlm 42.
[5] A. Rosyad Shaleh. Op. Cit. hlm 94-96.
[6] Ibid. hlm 96-98.
[7] Ibid. 98-99.
[8] Ibid.
[9] Keith Davis dan John W. Newstrom. 1985. Perilaku dalam Organisasi. Jakarta: Gelora Akasara Pratama. hlm 150.
[10] Ibid. hlm 151.
[11] Ibid.