Total Tayangan Halaman

Laman

Sabtu, 02 April 2011

Fikih Siyasah


METODE DAN SKETSA HISTORIS
(metode/pendekatan kajian fikih siyasah dan perkembangan kajiannya)
Dosen Pembimbing: Drs. Ust M. Nafi’
Oleh: Kasdi Ardian

I.            PENDAHULUAN
Fikih adalah salah satu pan ilmu dalam Islam yang berfungsi untuk mengontrol segala aktivitas manusia dalam menjalankan syariat. Begitu juga halnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tentunya akan menerapkan aturan sebagai sebuah system untuk mengontrol kehidupan masyarakatnya yang kemudian kita kenal dengan sitilah undang-undang dasar. Di dalam Islam aturan tersebut dirangkum dalam satu pembahasan yang kita kenal dengan ilmu fikih
Syariat Islam yang telah di tetapkan Allah sebenarnya sudah mencakup seluruh hukum, baik yang berhubungan dengan akidah, ahlak ataupun sebagai rujukan bagi manusia dalam melakukan sesuatu. Selanjutnya dalam tataran aplikatifnya diatur dalam UUD Islam yang kita kenal dengan istilah fikih, yang kemudian menjustipikasi terhadap suatu perkara, seperti memberikan hukum halal, haram dan sebagainya.[1]
Kemudian ilmu fikih berkembang dalam beberapa cabang, diantarnya adalah fikih siyasah. Yaitu salah satu disiplin bentuk-bentuk pengetahuan kepemimpinan umat manusia pada umumnya dan Negara pada khususnya, berupa hukum, peraturan dan kebijakan yang diditetapkan oleh pemegang kekuasaan yang bernapaskan ajaran Islam, untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan tuntunan syariat adalah merupakan motivasi fikih siyasah.[2]
II.            PEMBAHASAN
A.    Sketsa Hitoris


Dalam perspektif sejarah, fikih siyasah secara garis besar dapat dipetakan sebagai berikut:
1.      Pada masa Rasulullah SAW
Kegiatan politik sudah terlihat semenjak Nabi di Makkah sekalipun belum secara jelas itu disebut politik. Para peneliti modern berpendapat bahwa, apa yang di lakukan oleh Nabi Muhammad pada dasarnya besifat keagamaan, tapi esensi serta idenya muncul ketika ia melihat situasi dan kondisi kota Makka pada waktu itu yang didasari perbedaan kesukuan serta lebih focus kepada kepentingan masing-masing dalam mencari keuntungan dalam berbisnis.[3]
Kegiatan politik Nabi Muhammad bertahap mulai tertata ketika hijrah ke Madinah pada tahun 622. Yang diawali dengan adanya perjanjian atau yang lebih dikenal dengan istilah bait aqobah oleh Rasulullah dengan penduduk Yatsrib (Madinah). Selanjutnya penduduk Yatsrib meminta kepada Rasulullah SAW. sebagai mediator untuk mempersatukan antar suku yang sedang berseteru khususnya suku Khazraj dan suku Aus. Ketika Rasulullah berada di Madinah, kemudian membikin sebuah dukomen yang kemudian dikenal dengan piagam Madinah atau konstitusi Madinah yang didalamnya memuat istilah khusus, ummah, untuk sebuah masyarkat dan menjadi landasan dalam bernegara bagi masyarakat Madinah pada waktu itu.[4]
2.      Masa al-Khulafa ar-Rasyidin
Pada periode ini, dua khalifah pertama masih meniru gaya kepemimpinan Rasulullah SAW. secara politik, pada masa ini kekuasaan Islam semakin diperluas.[5] Dalam menyelesaikan masalah kenegaraan, apabila tidak ditemukan nashnya baik dalam alQuran dan hadis khalifah melakukan ijtihad dan meminta pendapat para sahabat. selanjutnya untuk menampung aspirasi pendapat para sahabat maka dibentuklah badan musyawarah (syuroh) yang di pelopori oleh khalifah Abu bakar dan  Umar.[6]
3.      Masa klasik
a.       Bani Umayyah (661 M ? 750 M).
Kekuasaan Islam kemudian berpengaruh secara signifikan di pentas internasional. Pada masa Umayyah mengarahkan kebijakan expansi (pengembangan wilayah kekuasaan Islam) sebagai ajang dakwah. Pada saat ini terdapat partai oposisi seperti syi'ah, khawarij, akan tetapi tidak mempunyai pengaruh yang berarti.
b. Pada masa Abbasiyah ( 750 M ? 1258 M).
     Tokoh daulah sunny yang kemudian mulai menulis tentang siyasah, yaitu Ibn Abi Rabi', mempersembahkan bukunya kepada khalifah al-Mu'tashim berjudul "Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik" (pedoman raja dalam menjalankan roda pemerintahan). Dalam bukunya tersebut, Ibnu Abi Rabi' menekankan wajib secara mutlak, bagi rakyat patuh terhadap khalifah. Ia digambarkan sebagai khalifah yang adil, bijak dan mampu memberi kesejahteraan pada rakyatnya. Dalam teorinya terdapat kata "kota dan negara", merupakan kerja sama antar manusia yang membentuk negara tersebut.
     Menurut penulis, pada masa Abbasiyah kegiatan politik yang terjadi pada waktu itu mendorong para ulama untuk menyusun sebuah pedoman dalam berpolitik yang berlandaskan dengan prinsi-prinsip syariat Islam.
4.      Masa Modern Sampai Sekarang
a. Hegemoni bangsa-bangsa Barat yang kemudian berdampak pada melemahnya penduduk muslim. selanjunya mereka mengembangkan gagasan politik dan budayanya yang memiliki pengaruh sekularisme di tengah-tengah umat Islam.
b. Pasca runtuhnya tiga kerajaan besar Islam: kerajaan Usmani di Turki, Mughal di India dan Safawi di Persia (1700-1800 M), tidak mampu menandingi keunggulan Barat dalam bidang teknologi, ilmu pengetahuan, ekonomi dan organisasi.
c. Kuatnya penestrasi (perembesan) budaya dan tradisi Barat terebut, menimbulkan beberapa pendapat sebagian pemikir Islam, ada yang apriori dan anti Barat, ada yang ingin belajar dan secara selektif mengadopsi gagasannya dan ada juga yang sekaligus setuju untuk mencontoh gaya mereka. Sikap pertama menganggap bahwa ajaran Islam lengkap, untuk mengatur kehidupan manusia termasuk politik dan kenegaraan. Merujuk pada sistem dari nabi Muhammad saw dan al-Khulafa al-Rasyidun. Sikap kedua melahirkan kelompok yang beranggapan bahwa Islam hanya menyajikan seperangkat tata nilai dalam kehidupan politik kenegaraan umat Islam. Kajian-kajian politik kenegaraan harus digali sendiri melalui proses reasoning (ijtihad). Sikap yang ketiga melahirkan kelompok orang yang sekuler. Berkeinginan untuk memisahkan kehidupan politik dari agama. Model-model inilah yang kemudian berkembang sampai dengan sekarang.[7]
Selanjutnya perkembangan fikih siyasah di Indonesia dimulai  ketika adanya pengkajian secara akademis sekitar tahun 1960-an, tetapi fikih Siyasah bukanlah objek kajian fikih yang baru. Kajian terhadap gejala siyasah telah tumbuh dan berkembang sejak Islam menjadi pusat kekuasaan dunia, bahkan usia fikih Siyasah setua ajaran Islam itu sendiri.[8] Menurut Kontowijoyo, ajaran islam telah banyak memberikan sumbangan terhadap Indonesia. Perjalanan Islam di Indonesia kemudian membentuk civic culture, national solidarity, ideology jihad serta adanya control social, tata Negara banyak mengadopsi dari tata Negara Islam.[9]

B.     Metode
Fiki siyasah yang pada dasar atau sumber ajarannya adalah al-Quran dan Hadis, tentunya tidak lepas dari metode dalam dalam penulusuran hukumnya. Dan sebagai qanun pada prinsipnya, metodologi yang dipergunakan sama dengan metodologi ilmu fikih pada umumnya, yaitu menggunakan ilmu ushul fikih dan kaidah fikih. Penggalian dan penetapan hukum melalui kedua metode ini sangat berperan dalam menghasilkan dan mencari jalan keluar bagi berbagi persoalan yang terus berkembang dalam kehidupan sosial umat.[10]
Menurut pendapat Thoha Jabir al-Mawarni, ushul fikih disamping metode yang paling penting dalam sejarah Islam, juga sebagai pondasi yang di atasnya dibangun ilmu-ilmu keislaman, dan para mujtahid telah membuktikan bahwa ushul fikih adalah metode yang paling tepat dalam proses penentuan hukum, bahkan ushul fikih menjadi salah satu syarat dalam mengkaji hukum Islam seperti tafsir dan hadis.[11]
Beberapa diantara metode ushul fikih yang dapat diaplikasikan dalam mengembangkan siyasah, diantaranya adalah:
1.      Ijtihad
Ada beberapa hal penting yang menjadi alasan mengapa ijtihad dijadikan metode dalam mempelajari fikih siyasah, diantaranya adalah:
a.       Ketika suatu permasalahan yang tidak ditemukan penyelesaiannya melalui dalil yang ada di dalam al-Quran dan hadis maka cara yang dilakukan selanjutnya adalah dengan ijtihad.
b.      Ijtihad bertujuan untuk memelihara ruh syariat untuk kemaslahatan dan kebaikan umat selanjutnya.[12]
c.       Menurut penulis, politik adalah aktivitas muammalah yang berbeda disetiap ruang dan waktu dan akan terus mengalami perkembangan menyesuaikan dengan kondisi yang ada.
2.      Kiyas
Sebagai analogi yang bersifat analogi induktif, qiyas merupakan pengembangan yang berangkat dari sebuah peristiwa. Kemudian menyimpulkan bahwa, kebenaran pada satu kasus tertentu, bisa jadi benar dalam kasus yang lain. Sebagai contoh, penegakan demokrasi yang dilakukan oleh rasulullah ketika Rasulullah memilih komandan perang dan menunjuk langsung Hamzah sebagai panglima. Hal ini juga dapat dilakukan oleh pemimpin pada masa sekarang.[13]
3.      Ijma’
Ijma’ tidak dapat dilakukan hanya diruang diskusi semata, karena ijma’ berkembang melihat realitas yang terjadi dimasyarakat dan melihat opini-opini public. Hal ini kemudian sangat memberikan pengaruh dalam memutuskan ijma’ itu sendiri.[14]
4.      Istihsan
Ihtisan dilakukan untuk memilih dalil yang lebih kuat yang bertujuan memelihara kemeslahatan serta menghilangkan kemudharatan yang sesuai denga syariat. Cara yang dilakukan adalah dengan mendahulukan dalil yang bersifat umum daripada dalil yang bersifat khusus, dan mendahulukan dalil yang bersifat ‘am daripada dalil yang kully.[15]
5.      Maslahah mursalah
Maslahah mursalah dapat dijadikan dasar dalam menetapkan hukum dengan beberapa alasan  sebagai berikut:
1.      Maslaha mursalah bertujuan untuk memelihara maqosidus sayri’ah, cara yang dilakukan adalah melakukan observasi, dan melalui analisis yang mendalam, kemudian hukum yang dihasilkan memberi manfaat dan menghindarkan mudharat,
2.      Mendahulukan masalah yang bersifat umum, bukan bersifat pribadi.[16]
6.      Istishhab
Istishhab yang berarti yang mengembalikan segala sesuatu pada ketentuan semula selama tidak ada dalil atau nash yang mengharamkannya. Seperti hukum mubah pada kegiatan dalam interaksi muammalah seperti perjanjian, tukar menukar antar barang atau jasa ataupun kegiatan lain.[17]
7.      ‘urf (hukum adat)
‘urf bisa menjadi pertimbangan dalam menetapkan hukum dengan beberapa kriteria sebagai berikut:
1.      Bahwa ‘urf perkara yang sudah menjadi suatu kebiasaan dan berlangsung sepanjang jaman,
2.      ‘Urf diakui diseluruh secara umum di negeri Islam,
3.      ‘Urf tidak bertentangan dengan syara’.[18]
Penedekatan ‘urf dalam mempelajari fikih siyasah sangat diperlukan, karena perkembangan politik berakar dari kehidupan masyarakat adat. Hal ini akan mempermudah dalam mengambil keputusan politik. Seperti pemilihan kepala suku, kepala desa, dan para pemimpin lainnya.[19]

Ushul pikih dalam metode untuk mengkaji fikih siyasah tentu akan melibatkan kaidah fikih. Diantara kaidah fikih yang pupuler adalah sebagai berikut:[20]
1.      ألأمور بمقاصدها
2.      الضرريزال
3.      العادة محكمة
4.      اليقين لايزال بالسك
5.      المشقة تجلب التيسير
Selain yang telah disebutkan diatas, masih banyak lagi kaidah fikih yang bisa diaplikasikan utntuk mengembangkan pembahasan fikih syasah.

C.    Perkembangan Kajiannya
            Menurut beberapa pakar Islam perkembangan fikih siyasah selanjutnya diihat dari objeknya. Diantaranta adalah, Abdul Wahab Khallaf, menjelaskan bahwa, objek kajian fiqh siyasah adalah sebuah regulasi dan perundang-undangan untuk mengatur negara sesuai kaidah-kaidah ajaran agama dengan tujuan mewujudkan kemaslahatan manusia serta memenuhi kebutuhan mereka.
Sedangkan menurut Hasbi Ashshiddiqie, objek kajian fiqh siyasah adalah pekerjaan-pekerjaan mukallaf yang berkaitan dengan jiwah syariah dan tidak bertentangan dengan nash.
Selanjutnya, objek kajian fiqh siyasah berkembang luas, sesuai kapasitas bidang-bidang apa saja yang perlu diatur, seperti peraturan hubungan warga negara dengan lembaga negara, hubungan dengan negara lain, Islam dengan non Islam ataupun pengatuaran-pengaturan lain yang dianggap penting oleh sebuah negara, sesuai dengan ruang lingkup serta kebutuhan negara tersebut.
 Hasbi kemudian membidangkan objek kajian fiqh siyasah pada delapan bidang:
1. Siyasah Dusturiyah Syar’iyyah (mirip MPR ? DPR).
2. Siyasah Tasyri'iyyah Syar’iyyah.
3. Siyasah Qadhaiyyah Syar'iyyah.
4. Siyasah Maliah Syar'iyyah.
5. Siyasah Idariyah Syar'iyyah.
6. Siyasah Kharijiyyah Syar'iyyah Dawliyyah ( mirip Dep. Luar Negeri).
7. Siyasah Tanfidziyyah Syar'iyyah.
8. Siyasah Harbiyyah Syar'iyyah.

Kemudian bidang-bidang tersebut disederhanakan menjadi empat macam :
1. Fiqh Dustury ( Dep. Perundang-undangan dan hukum).
2. Fiqh Malliy (Dep. Keuangan).
3. Fiqh Dawliy ( Dep. Hubungan internasional).
4. Fiqh Harbiy (Dep. Petahanan dan Keamanan).

Tentu saja pembidangan tersebut di atas belum dianggap selesai dan hal ini akan berhubungnan dengan perubahan dan penambahan bidang-bidang yang diperlukan.[21]

 III.            PENUTUP
Simpulan
Dalam kaca mata sejarah, fikih siyasah sudah dimulai pada masa Rasulullah SAW. sebagai salah satu strategi untuk mengajak umat kedalam agama Islam. kemudian setelah Rasulullah SAW. wafat fikih siyasah menjadi perhatian para sahabat dalam mengatur situasi perpolitikan dalam negara sementara nash baik al-Quran dan hadis secara spesifik tidak membahas masalah politik, hal ini kemudian mendorong para sahabat untuk melakukan ijtihad.
 selanjutnya fikih siyasah mengalami perkembangan sesuai dengan situasi dan kondisi pada masa tertentu. Untuk merespon perkembangan ini, selanjutnya fikih siyasah menggunakan sebuah metode yakni ushul fikih dan kaidahnya. Dengan metode inilah, kemudian fikih siyasah mengalami perkembangan dalam kajiannya.



DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Muhammad al-Qodi. 1989. Assiyasah Asyariyah Masdar Li Taqnin Baina Nadhiriah Wattatbiq. Tanta: Daar al_kutub al-Jamiiyahal-Hadis
Ensklopedi Tematis Dunia Islam. t.t. Jakarta: PT Icktiar Baru Van Hovee
 Beni Ahmadi Saebani. 2007. Fiqih Siyasah. Bandung: CV Pustaka Setia
Ahmad Syalby. 1974. As-Siyasah wal-Iqtishad. Mesir: Maktabah an-Naqdhah
FathiyahDaryani. 1982. Khashais at-Tasyri’ al-Islami Fi Siyasah Walhukmi. Beirut: Muassiash ar-Risalah
Kuntowijoyo. 1999. Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan
Muhyar Fanani. 2002. Ilmu Ushul Fikih Dimata Filsafat Ilmu. Semarang: Wali Songo Press  


[1] .Abdullah Muhammad al-Qodi. 1989. Assiyasah Asyariyah Masdar Li Taqnin Baina Nadhiriah Wattatbiq. Tonto: Daar al_kutub al-Jamiiyahal-Hadis, hlm 7.
[2] . Ensklopedi Tematis Dunia Islam. t.t. Jakarta: PT Icktiar Baru Van Hovee. Hlm 191.
[3] . Beni Ahmadi Saebani. 2007. Fiqih Siyasah. Bandung: CV Pustaka Setia, hlm 280.
[4] . ibid.
[5] . Ahmad Syalby. 1974. As-Siyasah wal-Iqtishad. Mesir: Maktabah an-Naqdhah, hlm 141.
[6] . FathiyahDaryani. 1982. Khashais at-Tasyri’ al-Islami Fi Siyasah Walhukmi. Beirut: Muassiash ar-Risalah, hlm 458.
[9] . Kuntowijoyo. 1999. Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan, hlm 193.
[10] . loc.cit. Ensklopedi Tematis Dunia Islam
[11] . Muhyar Fanani. 2002. Ilmu Ushul Fikih Dimata Filsafat Ilmu. Semarang: Wali Songo Press, hlm   15.
[12] . Abdullah Muhammad al-Qodi. Lo.cit. 47.
[13] . Beni Ahmadi Saebani. Loc.cit. 60.
[14] .ibid. 67.
[15] . Abdullah Muhammad al-Qodi. lo.cit. 226.
[16] . ibid. 139.
[17] . Beni Ahmadi Saebani.lo.cit. 78.
[18] . Abdullah Muhammad al-Qodi. lo.cit. 269.
[19] . Beni Ahmadi Saebani.lo.cit.80.
[20] . ibid.90.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar