Total Tayangan Halaman

Laman

Rabu, 30 Maret 2011

Filsafat Kontemforer


Muhammad Iqbal
1.      Biografi
            Muhammad Iqbal lahir  di Sialkot, Punjab pada tanggal 22 Pebruari 1873, Nenek moyangnya berasal dari lembah Kashmir. Pada tahun 1895, setelah  menyelesaikan pendidikan dasar di kampung halamannya, ia melanjutkan pendidikannya di Lahore. Pada waktu usia muda ia mendapat binaan dari seorang ulama militan , Mir Hasan, teman ayahnya. Ulama ini berhasil membentuk kepribadian Muhammad Iqbal menjadi pemuda yang berhati baja yang didasari dengan ruh agama yang kemudian mempunyai tujuan dan langkah yang terarah dalam menentukan masa depannya.[1]
            Di Lahore ia mengikuti perkumpulan para sastrawan, pada waktu itu bahasa Parsi semakin mengalami kemunduran. Melalui simposium-simposium ia mulai melibatkan diri dalam membacakan sajak-sajak, Salah satu sajak karangannya ialah Himalaya yang menggambarkan rasa patriotisme yang kemudian mendapat apresiasi dari tokoh-tokoh sastra Lahore.[2]
            Selain tokoh filsafat, Muhammad Iqbal juga dikenal sebagi seorang ahli hukum, pemikir politik serta seorang tokoh reformis muslim diabad kedua puluh. Sewaktu melanjutkan pendidikan sarjananya di Lahore, ia juga aktif sebagi pengajar filsafat di Government College dan mendapatkan gelar B.A pada tahun 1897, selanjutnya ia mengambil program M.A. dalam bidang filsafat. Pada waktu inilah ia bertemu dengan Sir Thomas Arnold-seorang orientalis Inggris- yang menjadi dosennya dalam bidang filsafat. Pada tahun 1905, ia meneruskan studinya di Cambridge pada R.A. Nicholson, seorang spesialis sufisme, dan juga seorang Neo-Hegelian John M.E.Mc Taggart. Kemudian ia meneruskan pendidikannya ke Heidelberg dan Munich sampai memperolaeh gelar Doktor pada tahun 1908 dengan desertasi berjudul The Development of Metaphysicsin Persia. Kemudian desertasi ini diterbitkan di London dalam bentuk buku dan dihadiahkan ke gurunya, Sir Thomas Arnold.[3]
            Dalam bidang politik, ia menjadi tokoh utama dalam partai Liga Muslim India. Kemudian pada tahun 1926, ia menjadi anggota Majelis Legislatif di Punjab. Sampai pada tahun 1930 ia terpili menjadi presiden Liga Muslim India. Ketika diadakan konferensi tahunan Liga Muslim di Allahabad pada tanggal 12 Desember 1930, ia yang pertama kali mengusulkan dibaginya Idia, sehingga kaum muslim mempunyai otonom, hal itu tidak bertentangan dengan persatuan umat Islam dan pan-Islamis. Dengan pemikirannya tersebut, kemudian ai di juluki sebagai bapak Pakistan.[4]
2.      Pemikirannya
a)      Ego atau Khudi
Konsep dasar filsafat Iqbal adalah hakikat ego atau individualitas yang ditulis dalam bahasa Persia dan berkembang menjadi sebuah puisi dan bahan untuk ceramah yand selanjutnya di jadikan buku dengan judul The reconstruction of Religoious Thuoght in Islam.[5]
Dalam pendapatnya, Iqbal mengartikan khudi secara harfiah sama dengan ego atau individualitas. Merupakan suatu kesatuan yang nyata, dan secara rasional merupakan landasan kehidupan. Artinya, hidup bukanlah suatu arus tak berbentuk, melainkan suatu prinsip kesatuan yang besifat mengatur.[6]
b)      Ketuhanan
Dalam hal ketuahan, Iqbal melalui tiga proses dalam memahaminya dari proses pencarian sampai proses kematanagan, yaitu:
Pertama, dari tahun 1901 sampai dengan tahun 1908. Pada tahap ini, Iqbal meyakini akan keabadian keindahan Tuhan, keberadaanya tanpa tergantung pada sesuatu dan mendahului segala sesuatu. Tuhan menurut Iqbal menampakkan diri dalam segala sesuatu sekaligus penggerak segala sesuatu, maka esensi dan ideal segala sesuatu adalah keindahan abadi Tuhan. Pendapay Iqbal ini tidak lepas dari pemikiran Plato yang dikembangkan oleh Plotinus yang menganggap tuhan sebagai keindahan Tuhan.  Kecenderungan Iqbal ke mistikus-panteistik juga tidak lepas karena kekagumannya kepada tokoh tasawuf falsafi Ibnu Arabi.[7]
            Proses yang kedua, dari tahun 1908 sampai 1920. Pada tahap ini. Iqbal mulai menyangsikan tentang sifat kekal dan efesiensi serta kausalitas. Tuhan bukan lagi keindahan luar, tetapi sebagi kemauan abadi, Tuhan menjadi asas rohani tertinggi dari segala kehidupan. Usaha untuk menemukan Tuhan terbatas hanya pribadi, seseorang tidak boleh terserap ke dalam Tuhan, tetapi hendaknya ia berusaha menyerap Tuhan ke dalam dirinya.[8]
            Pada proses yang ketiga, dari tahun 1920 sampai 1938. Pada tahap ini mencapai tahap kematangan, dengan konsepsi Tuhan adalah hakikat segala keseluruhan, sifat spiritual adalah sebagai dasar untuk mengetahui keseluruhan hakikat.[9]  




[1] . H. A. Musthofa. 2004. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka, hlm 330.
[2] . ibid.
[3] . Hasyimsyah Nasution. 2005. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, hlm 181.
[4] . ibid.
[5] . ibid.
[6] . ibid.
[7] . ibid.
[8] .ibid.
[9] . ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar