Total Tayangan Halaman

Laman

Rabu, 30 Maret 2011

Teori


TEORI
.
I.            Pendahuluan
       Dalam kehidupan sehari-hari sering kali kita mendengar istilah-istilah yang berhubungan dengan suatu ilmu pengetahuan. Dan sering kali kita juga terjebak dengan pengertian-pengertian sementara yang belum tentu jelas kebenarannya ketika ditinjau dalam suatu disiplin ilmu pengetahuan. Di dalam makalah ini penulis mencoba menjelaskan  sebuah istilah yang sudah tidak asing lagi dalam pembicaraan sehari-hari yaitu “teori”. Kata-kata ini sangat erat kaitannya dengan aflikasi kehidupan sehari-hari, karena semakin bagus teori yang pergunakan maka akan semakin besar pula peluang yang didapatkan dalam mencapai suatu tujuan.
 
II.            Pembahasan
A.    Definisi Teori
       Teori berasal dari bahasa latin yaitu theoria yang berari perenungan, dalam bahasa Yunani disebut thea  yang berarti cara atau hasil pandang.[1]
       Menurut pendapat Mundiri, toeri adalah interpretasi kata-kata atau merupakan pernyataan suatu fakta dalam hubungannya dengan fakta lain.[2]
       Pendapat lain yang dikemukakan oleh The Liang Gie, bahwa teori adalah seperangkat pengertian (konsep), definisi[3] dan proposisi[4] yang saling berkaitan dan menyajikan sebuah pandangan sistematik sebuah fenomena-fenomena  dengan menentukan hubungan –hubungan antara variabel-variabel dengan tujuan menerangkan  dan meramalkan fenomena-fenomena itu.[5]

B.     Ciri-ciri suatu teori
      setelah penulis menganalisa beberapa penjelasan tentang teori, terdapat beberapa karakteristik atau ciri-ciri mengenai suatu teori. Diantaranya adalah bahwa teori tersebut dapat  dibuktikan kebenarannya hal ini dapat dibuktikan dengan penerapan ulang teori tersebut sekalipun ada teori baru yang lebih epektif. Ciri lain adalah teori tersebut mempunyai kaidah-kaidah yang beraturan.
C.    Contoh teori
      Teori kebenaran
            Dalam epistemologi terdapat sebuah kajian yang berhubungan dengan pengetahuan kita, yaitu kajian tentang teori kebenaran.  Yang selanjutnya akan menimbulkan pertanyaan apakah pengetahuan kita benar? dan bagaimana cara kita membedakan pengetahuan yang benar dari pengatahuan yang salah? Serta bagaimana kita menjawab persoalan ini.[6]
       Dalam membahas teori kebenaran ini penulis mengambil contoh dalm bidang ilmu ushul fiqh. Salah seorang tokoh ilmuan dalam bidang ini yang juga dikenal dengan julukan hujjatul Islam yaitu imam al-Ghazali.
      Al-Ghazali dalam ilmu ushul fiqh memberikan argumentasi rasional yang meniscayakan dipergunakannya teori kebenaran koherensi. Penalaran ushul yang benar adalah penalaran yang koheren dengan premis-premis kebahasan dan hukum logika. Dalam hali ini, al-Ghazali memberikan pendapat bahwa metode pengambilan hukum melalui 3 model pendekatan, diantaranya, pendekatan semantik (literal), pendekatan maknawi dan pendekatan penalaran dari teks (qiyas). Pendekatan semantik 100 persen menggunakan pendekatan dengan berangkat dari kaidah bahasa Arab. Sedangkan pendekatan penalaran dari teks adalah pendekatan melauli proses illah (sebab hukum) pungsinya untuk memperluas jangkauan teks (qiyas), dan dapat dilihat peran yang paling mencolok dalam menetukan illah adalah akal.  Selanjunya al-Ghazali menjelaskan, bahwa cara menentukan illah mempunyai tiga cara, yaitu, berdasarkan naql, ijma dan istimbath (istidlal). Sementara pendekatan maknawi adalah pendekatan yang selalu mengacu pada upaya makna implisit dari teks (naql). Dan ini berbeda dengan pendekatan semantik yang mengunkapkan makna melalui yang tersurat (ekplisit). teori kebenaran koherensi pada Model pendekatan maknawi mutlak sangat diperlukan. Dan ini dapat dilihat dari model pendekatan maknawi yang dipergunakan oleh al-Ghazali yaitu, iqtidla’, isyarah, pemahaman denga sifat munasib, mafhum muwafaqah (dalalah annash), dan mafhum mukhalafah (pemahaman terbalik).[7]
       Dari analisa di atas dapat kita garis bawahi, menurut al-Ghazali, bahwa rasionalisme-deduktif adalah epistemologi ilmu ushul fiqh.[8]
 


III.            Simpulan
       Dalam menerangkan suatu fenomena-fenomena, sebuah teori dalam aflikasinya tentu akan mengacu pada beberapa kaidah-kaidah yang beraturan dan tentunya kaidah ini sudah ditemukan sebelumya. Dan dalam hal ini teori berpungsi sebagai penguatan lebih lanjut dari kaidah-kaidah tersebut, dan tentunya teori juga mempunya kaidah-kaidah yang baru yang kemudian dikombinasikan dengan kaidah yang telah ada. Dan ini dapat kita lihat dari teori Imam al-Ghazali yang mungkin kaidah-kaidah yang dipergunankan salah satu diantaranya telah diterapkan sebelumnya.

IV.            Daftar Pustaka
Fanani, Muhyar. 2009. Ilmu Ushul Fiqh di mata Filsafat Imu. Semarang: Wali Songo.
Gie, The Liang. 2000. Pengantar Filsafat Ilmu. Yokyakarta: Liberty.
Mundiri. 2009. Logika. Jakarta: Rajawali Pers.


[2] . Mundiri. 2009. Logika. Jakarta: Rajawali Pers, hlm 197.
[3] . Definisi adalah menyebut sekelompok karakteristik suatu kata sehingga sehingga kita dapat mengetahui pengertiannya serta dapat membedakan kata lain yang menunjukan obyek yang lain pula, Mundiri (2009, 37).
[4] . Proposisi adalah pernyataan dalam bentuk kalimat yang dapat dinilai benar dan salahnya, Mundiri (2009, 54).
[5] . The Liang Gie. 2000. Pengantar Filsafat Ilmu. Yokyakarta: Liberty, hlm 145.
[6] . Muhyar Fanani. 2009. Ilmu Ushul Fiqh di mata Filsafat Imu. Semarang: Wali Songo, hlm 66.
[7] . ibid.
[8] . ibid.

Filsafat Kontemforer


Muhammad Iqbal
1.      Biografi
            Muhammad Iqbal lahir  di Sialkot, Punjab pada tanggal 22 Pebruari 1873, Nenek moyangnya berasal dari lembah Kashmir. Pada tahun 1895, setelah  menyelesaikan pendidikan dasar di kampung halamannya, ia melanjutkan pendidikannya di Lahore. Pada waktu usia muda ia mendapat binaan dari seorang ulama militan , Mir Hasan, teman ayahnya. Ulama ini berhasil membentuk kepribadian Muhammad Iqbal menjadi pemuda yang berhati baja yang didasari dengan ruh agama yang kemudian mempunyai tujuan dan langkah yang terarah dalam menentukan masa depannya.[1]
            Di Lahore ia mengikuti perkumpulan para sastrawan, pada waktu itu bahasa Parsi semakin mengalami kemunduran. Melalui simposium-simposium ia mulai melibatkan diri dalam membacakan sajak-sajak, Salah satu sajak karangannya ialah Himalaya yang menggambarkan rasa patriotisme yang kemudian mendapat apresiasi dari tokoh-tokoh sastra Lahore.[2]
            Selain tokoh filsafat, Muhammad Iqbal juga dikenal sebagi seorang ahli hukum, pemikir politik serta seorang tokoh reformis muslim diabad kedua puluh. Sewaktu melanjutkan pendidikan sarjananya di Lahore, ia juga aktif sebagi pengajar filsafat di Government College dan mendapatkan gelar B.A pada tahun 1897, selanjutnya ia mengambil program M.A. dalam bidang filsafat. Pada waktu inilah ia bertemu dengan Sir Thomas Arnold-seorang orientalis Inggris- yang menjadi dosennya dalam bidang filsafat. Pada tahun 1905, ia meneruskan studinya di Cambridge pada R.A. Nicholson, seorang spesialis sufisme, dan juga seorang Neo-Hegelian John M.E.Mc Taggart. Kemudian ia meneruskan pendidikannya ke Heidelberg dan Munich sampai memperolaeh gelar Doktor pada tahun 1908 dengan desertasi berjudul The Development of Metaphysicsin Persia. Kemudian desertasi ini diterbitkan di London dalam bentuk buku dan dihadiahkan ke gurunya, Sir Thomas Arnold.[3]
            Dalam bidang politik, ia menjadi tokoh utama dalam partai Liga Muslim India. Kemudian pada tahun 1926, ia menjadi anggota Majelis Legislatif di Punjab. Sampai pada tahun 1930 ia terpili menjadi presiden Liga Muslim India. Ketika diadakan konferensi tahunan Liga Muslim di Allahabad pada tanggal 12 Desember 1930, ia yang pertama kali mengusulkan dibaginya Idia, sehingga kaum muslim mempunyai otonom, hal itu tidak bertentangan dengan persatuan umat Islam dan pan-Islamis. Dengan pemikirannya tersebut, kemudian ai di juluki sebagai bapak Pakistan.[4]
2.      Pemikirannya
a)      Ego atau Khudi
Konsep dasar filsafat Iqbal adalah hakikat ego atau individualitas yang ditulis dalam bahasa Persia dan berkembang menjadi sebuah puisi dan bahan untuk ceramah yand selanjutnya di jadikan buku dengan judul The reconstruction of Religoious Thuoght in Islam.[5]
Dalam pendapatnya, Iqbal mengartikan khudi secara harfiah sama dengan ego atau individualitas. Merupakan suatu kesatuan yang nyata, dan secara rasional merupakan landasan kehidupan. Artinya, hidup bukanlah suatu arus tak berbentuk, melainkan suatu prinsip kesatuan yang besifat mengatur.[6]
b)      Ketuhanan
Dalam hal ketuahan, Iqbal melalui tiga proses dalam memahaminya dari proses pencarian sampai proses kematanagan, yaitu:
Pertama, dari tahun 1901 sampai dengan tahun 1908. Pada tahap ini, Iqbal meyakini akan keabadian keindahan Tuhan, keberadaanya tanpa tergantung pada sesuatu dan mendahului segala sesuatu. Tuhan menurut Iqbal menampakkan diri dalam segala sesuatu sekaligus penggerak segala sesuatu, maka esensi dan ideal segala sesuatu adalah keindahan abadi Tuhan. Pendapay Iqbal ini tidak lepas dari pemikiran Plato yang dikembangkan oleh Plotinus yang menganggap tuhan sebagai keindahan Tuhan.  Kecenderungan Iqbal ke mistikus-panteistik juga tidak lepas karena kekagumannya kepada tokoh tasawuf falsafi Ibnu Arabi.[7]
            Proses yang kedua, dari tahun 1908 sampai 1920. Pada tahap ini. Iqbal mulai menyangsikan tentang sifat kekal dan efesiensi serta kausalitas. Tuhan bukan lagi keindahan luar, tetapi sebagi kemauan abadi, Tuhan menjadi asas rohani tertinggi dari segala kehidupan. Usaha untuk menemukan Tuhan terbatas hanya pribadi, seseorang tidak boleh terserap ke dalam Tuhan, tetapi hendaknya ia berusaha menyerap Tuhan ke dalam dirinya.[8]
            Pada proses yang ketiga, dari tahun 1920 sampai 1938. Pada tahap ini mencapai tahap kematangan, dengan konsepsi Tuhan adalah hakikat segala keseluruhan, sifat spiritual adalah sebagai dasar untuk mengetahui keseluruhan hakikat.[9]  




[1] . H. A. Musthofa. 2004. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka, hlm 330.
[2] . ibid.
[3] . Hasyimsyah Nasution. 2005. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, hlm 181.
[4] . ibid.
[5] . ibid.
[6] . ibid.
[7] . ibid.
[8] .ibid.
[9] . ibid.

Filsafat dan Tasawwuf


Ibnu Arabi
Dosen Pembimbing: Ust. Dr. Mutamakkin, S.Pil, MA
Oleh: Kasdi Ardiansah

I.            PENDAHULUAN
Ibnu Arabi adalah salah seorang dari sekian tokoh yang cukup melegenda di dunia Islam. hal ini dikarenakan pemikirannya yang dinilai cukup menggugah untuk dibahas diforum-forum ilmiah. Selain seorang tokoh sufi yang cukup kontropersial lewat faham wahdatul wujudnya, ia juga dikenal sebagai seorang tokoh filsafat yang banyak mempengaruhi dalam pemikirannya terutama dalam hal tasawuf.  
Sebagai seorang pemikir dan sufi, Ibnu Arabi telah banyak memberikan kontribusi dalam ilmu pengetahuan. Pemikirannya telah menjadi pembahasan didunia akademik. Karya-karyanya banyak menjadi rujukan dalam ilmu pengetahuan termasuk di Indonesia. Tetapi yang lebih urgen adalah, faham-faham yang di gagas oleh Ibnu Arabi, melahirkan semangat untuk mempelajari seluk beluk ilmu pengetahuan sampai ke tokoh-tokohnya sekalipun.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang tokoh filsafat, Ibnu Arabi, meliputi dua aspek, pertama biogafinya yang meliputi latar belakang keluarganya, pendidikan dan karya-karyanya, yang kedua penulis akan membahas pemikirannya dalam hal filsafat yang meliputi tiga aspek, yaitu pemikiran tentang ketuhanan, pemikiran tentang manusia, dan pemikiran tentang alam semesta. Hakhirnya hanya kepada Allah saya mohon petunjuk untuk memudahkan dalam membahas makalah yang mengambil tokoh yang sangat berat tetapi mempunyai kekaguman tersendiri bagi penulis.

II.          BIOGRAFI
A.               latar belakang keluarga
Muhammad ibnu Ali ibnu Muhammad ibnu Arabi, Abu Bakar al-Hatimi al-andalusi, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Muhyiddin Ibnu Arabi dan dijuluki syekh al-Akbar, lahir di Mursiyah, Andalus, pada bulan Ramadhan 560 H.[1] atau bertepatan pada tanggal 7 Agustus 1165, ia dilahirkan dari keluarga keturunan Arab.[2] Selanjutnya ia pindah kedaerah Isybiliyah (Sevilah), dan mengunjungi beberapa daerah diantaranya Syam, Rum, Iraq dan Hijaz.[3] Istrinya adalah seorang yang taqwa lagi wara’, Maryam binti Abd bin Abdurrahman al-Baji, yang  banyak mempengaruhi dalam perjalanan hidupnya. Ayahnya yang dikenal dengan kekeramatannya juga sangat berperan dalam membentuk pola berpikir Ibnu Arabi, terutama dalam dunia mistik. Sedangkan dalam hal diskusi, ia sering mengajak para pamannya yang juga dikenal sebagai orang yang zuhud dan ahli tasawuf.[4]
B.               Pendidikan
Ketika Ibnu Arabi dan keluarganya pindah ke Sevila, ia mempelajari pendidikan keagamaan tradisional dan diantara guru spiritualnya adalah dua wanita lanjut usia, yaitu Yasamin dari Marchena dan Fatimah dari Cordoba. Pada tahun 598 H/1202 M ia pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah sampai di kota Mekah, ia tidak hanya menunaikan ibadah Haji, tapi ia memperdalam kualitas kehidupan ilmu mistiknya. Kemudian ia diterimah oleh seorang guru dari Isfahan, kemudian berguru dengan Majdudin Ishak dari Malatia, Turki-yang anaknya kelak menjadi murid terbesar Ibnu Arabi, yaitu Sadaruddin al-Qunawi.[5]
Sewaktu di kota Mekah ia mulai menulis kitab yang menjadi karya monumentalnya Futuhat al-Makiyat (Penaklukan Mekah). Selama menetap di kota itu ia banyak mengunjungi kota di Timur Tengah. Selanjutntya ia meninggalkan kota Mekah dan menuju Damaskus dan menetap disana pada tahun 629 H/1223 M. di Damaskus ia menyelesaikan karyanya Futuhat al-Makiyat yang ia tulis pertama kali ketika berada di Mekah kemudia ia menulis kitab Fushus al-Hikam, dan di kota inilah ia mencapai kematangan spiritual dan intelektual sebagai seorang sufi. Kedekatannya dengan penguasa Damaskus ia manfaatkan unutk menyebarkan ajarannya. Ia mempunyai banyak murid dan diantaranya adalah penguasa Damaskus, al-Malik al-Asyraf Muzafaruddin Musa yang kemudian diberi ijazah untuk mengajarkan karyanya. Sampai kemudian ia wafat dikota ini pada tahun 638 H/ 1241M.[6]
C.               Karya-Karyanya
para ulama mengatakan bahwa, Ibnu Arabi menulis banyak sekali kitab baik kitab tasawuf, tafsir, kalam dan lain sebagainya. Ibnu Hajar mengatakan karangan Ibnu Arabi menulis sampai 100  jilid kitab bahkan Syekh Zirikli menyebutkan terdapat sampai 400 kitab dan risalah yang ditulis oleh Ibnu Arabi. Sementara Osman Yahya dalam studi komprenhensipnya mengatakan, terdapat 850 karya yang dinisbahkan ke  Ibnu Arabi dan lebih dari 400 buah masih dapat ditemukan.[7] Beberapa karya tulisan Ibnu Arabi antar lain:[8]
1.     Futuhat al-Makiyat
2.     Muhadhorah al-Abrari wa-Musamarah al-Akhyar
3.     Fushus al-Hikam
4.     Mafatih al-Ghaib
5.     At-Ta’rifat
6.     At-Tajalliyat al-Ilahiyah
7.     Ruh al-Qudus
8.     Wa al-Anwar
9.     Asy-Syawahid
10.                                                   Al-Yaqin

III.                        PEMIKIRAN
Secara terperinci beberapa pemikiran Ibnu Arabi banyak digambarkan dalam karyannya Futuhat al-Makiyat, yang membahas hakikat, tasawuf, dasar-dasar syariat dan lain sebagainya.[9] Selain kitab tersebut terdapat juga dalam kitab fushus al-Hikam yang banyak membahas tentang filsafat dan tasawuf.
Diantara sekian banyak Filsafat Ibnu Arabi, dapat dipetakan sebagai berikut:
1.                Pemikiran Tentang Ketuhanan
Pemikiran Ibnu Arabi yang banyak menjadi perselisihan diantara para ulama adalah faham Wahdatul Wujud. Istilah ini muncul bukan dari Ibnu Arabi sendiri, tapi setelah ia wafat dan ajarannya meluas kepelbagai penjuru dunia.
Dalam faham ini ia menggambarkan bahwa kesatuan wujud dapat dimaknai sebagai tidak ada sesuatu wujud pun selain Tuhan, serta semua yang lain tidak nyata, dalam artian semua adalah bagian dari Tuhan. Para filosuf memaknai sebagai pembedaan antara Wujud Niscaya dan Wujud Sementara. Secara sederahannya, hanya Tuhan Wujud Niscaya dan lain ada Karena dzat-Nya. Semua wujud lainnya memiliki eksestensi-Nya karena penciptaa-Nya atau proses emanasi. Ungkapan ini dimulai dari pengalaman penglihatan sesaat ketika sang pencari Tuhan hilang kesadaran dirinya dalam kesadaran manifestasi Tuhan. Ia hadir dalam diri Tuhan atau Tuhan hadir dalam dirinya.[10]
2.                 Pemikiran Tentang Manusia
Istilah insan kamil (al-insan kamill) secara teknis muncul dalam literatur Islam di sekitar awal abad ke-7 H/ 13 M, atas gagasan Ibnu ‘Arabi, tetapi subtansi konsep insan kamil, sebenarnya telah muncul dalam Islam sebelum Ibnu ‘Arabi, hanya konsep-konsepnya tidak menggunakan istilah insan kamil.[11]
Di dalam pemikirannya tentang manusia, Ibnu Arabi mempunyai konsep insan kamil. konsep yang pernah di munculkan oleh al-Hallaj lewat pemabahasan seputar wali, kahtm awliya’,dan al-hulul lewat teori nur Muhammad.[12]
Insan kamil menurut persepektif Ibnu Arabi, adalah manusia yang mempunyai kedudukan yang tinggi, yang mempunyai kesempurnaan wujud secara akal, ruh dan bentuk. Yang semuanya terdapat pada diri para Nabi dan Wali. Kemudian Ibnu Arabi menjelaskan bahwa semua kesempurnaan yang paling paripurna yang Allah kemudian bertajalli padanya adalah hakikat Nabi Muhammad SAW. (al-haqiqah Muhammadiyah).[13]
Dalam pendapatnya, Ibnu Arabi menjelaskan bahwa insan kamil merupakan miniatur dan realitas dari ketuhanan. Esensi insan kamil merupakan cermin dari esensi Tuhan. Jiwanya sebagai gambaran dari al-nafs al-kulliyah (jiwa universal); tubuhnya mencerminkan arasy; pengetahuannya mencerminkan pengetahuan Tuhan; hatinya berhubungan dengan bayt al-al-ma’mur; kemampuan spriritualnya terkait dengan malaikat; daya ingatnya dengan saturnus (Zuhal); dan lain sebagainya.[14]
3.                 Pemikiran Tentang Alam semesta
Menurut Ibnu ‘Arabi, tujuan penciptaan alam atau tajalli Allah dalam alam ini adalah agar Allah dapat dikenali lewat asma’ dan sifat-sifat-Nya. artinya bahwa, tanpa adanya alam ini, asma’ dan sifat-sifat Allah akan kehilangan makna dan akan tetap merupakan citra akali (suwarun ‘aqliyyah) dalam zat yang pada gilirannya, zat itu akan tetap dalam kemujarradannya dan tidak dapat dikenal oleh siapapun.[15]
Mengenai pemikiran tentang alam, Ibnu ‘Arabi megklasifikasikannya dalam 4 macam, yaitu:
(1) alam jabarut, di mana ditempatkan sabda Ilahi dan daya rohani, (2) alam misal, tempat terjadinya eksistensialisme, sebagai lapisan       yang diraih oleh himmah dan doa-doa para wali agar enerji rohani mereka bebas dan mengubah kemungkinan menjadi keberadaan yang actual, (3) alam malakut, dunia malaikat, (4) nasut, atau alam manusia Namun, meskipun terdapat 4 macam alam tersebut, menurut Ibnu ‘Arabi, kesemuanya berasal dari apa yang disebutnya Haqiqah Muhammadiyyah, yaitu akal ilahi yang merupakan wadah ber-tajalli-nya Allah untuk pertama kalinya pada tingkat atau tahapan Ahadiyyah. Dan istilah ini sama dengan Akal Pertama menurut para filosuf, Pencipta Pertama (Al-Mubdi’ul-Awwal) menurut Syi‘ah Isma‘iliyyah, atau Akal Universal menurut Plotinus. Ibnu ‘Arabi mengambilalih istilah-istilah tersebut dan mengubahnya menjadi Ummul-Kitab, Al-Qalamul-A‘la, Nurul-Muhammadi dan Haqiqah Muhammadiyyah; dan semuanya itu disebutnya sebagai Ta‘ayyunul-Kulliyyah. [16]
IV.                        PENUTUP
    Simpulan
              Sebagi seorang pemikir, Ibnu Arabi berusaha memadukan antara ajaran filsafat dengan konsep tasawufnya. Dalam perjalanan pendidikannya yang banyak diwarnai dengan hal yang berhubungan dengan mistik yang kemudian melahirkan faham yang banyak kalangan disebut dengan faham wahdatul wujud, Ibnu Arabi menjelma menjadi seorang yang sangat dikenal didunia pemikir muslim dan barat, meskipun menimbulkan controversial dengan faham yang dituduhkan oleh sebagian ulama fikih melenceng dari syariat Islam. namun, hal itu tidak menguranginya sebagai seorang tokoh yang sangat disegani melalui pemikirannya yang tertuas di banyak karyanya sampai sekarang.

DAFTAR PUSTAKA

Arabi, Ibnu. 1998. Al-Futuhat al-makiyat. Beirut: Darul Ihya at-Turats al-Arabi
Arabi, Ibnu. 1988. Relung Cahaya. Terjemah. Jakarta: Pustaka Firdaus
Arabi, Ibnu. 1996. Hakikat Lafadz AllahI. Terjemah. Surabaya: Pustaka Progressif
Arabi, Ibnu. 2002. Fushus al-Hikam. Beirut: dar al-Kitab al-Arab
Yunasril Ali. 1997. Manusia Citra Ilahi. Jakarta: Paramidana
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. t.t. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve 
Ensikplopedi Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi. 2003. Bandung: Mizan
Halwi, Rois Saril. 1992. A’lamu al-Falasifah. Beirut: dar-alKutub al-Ilmiyah
Hourani, Albert. 1991. Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim. Terjemah. Bandung: Mizan



[1] . Ibnu arabi. 1998. Al-Futuhat al-makiyat. Beirut: Darul Ihya at-Turats al-Arabi, hlm 11
[2] . Ibnu Arabi. 1988. Relung Cahaya. Terjemah. Jakarta: Pustaka Firdaus, hlm, 1
[3] . Ibnu arabi. 1998. Al-Futuhat al-makiyat. 11
[4] . Ibnu Arabi. 1996. Hakikat Lafadz AllahI. Terjemah. Surabaya: Pustaka Progressif, hlm 24
[5] . Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. t.t. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, hlm 164 
[6] . Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. 165
[7] . Ensikplopedi Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi. 2003. Bandung: Mizan, hlm 68
[8] . Ibnu arabi. 1998. Al-Futuhat al-makiyat. 13
[9] . Rois Saril Halwi. 1992. A’lamu al-Falasifah. Beirut: dar-alKutub al-Ilmiyah, hlm 36.
[10] . Albert Hourani. 1991. Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim. Terjemah. Bandung: Mizan, hlm 352.
[11] . Yunasril Ali. 1997. Manusia Citra Ilahi. Jakarta: Paramidana, hlm 6
[12] . Yunasril Ali. 1997. Manusia.  hlm 49.
[13] . Ibnu Arabi. 2002. Fushus al-Hikam. Beirut: dar al-Kitab al-Arabi, hlm 37.
[14] . ibid. 55.